Yuyun, gadis cilik yang tewas mengenaskan setelah diperkosa oleh 14 remajamengundang simpati masyarakat Indonesia. Lini masa akun jejaring sosial saya juga dipenuhi tagar #NyalaUntukYuyun. Ketika polisi merilis nama-nama pelaku yang berjumlah 14 orang (2 masih buron), publik kembali dikejutkan dengan usia pelaku yang semuanya ternyata masih di bawah umur.
Publik demikian heran, bagaimana mungkin dalam usia sebelia itu bisa merencanakan dan melakukan tindak kriminal yang begitu kejam. Ya. Banyak yang heran. Banyak yang tak habis pikir. Banyak yang bertanya-tanya.
Tapi saya tidak. Sungguh, tak ada rasa heran sama sekali di benak saya ketika pertama kali mengetahui kasus ini. Semua lantaran Tempat Kejadian Perkaranya, yakni di Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT) Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Bagi masyarakat Bengkulu, atau setidaknya yang pernah lahir dan besar di Bengkulu seperti saya, pasti pernah mendengar kawasan “Texas” yang membentang sepanjang jalur lintas Kota Curup (Bengkulu) hingga Lubuk Linggau (Sumatera Selatan).
Termasuk dalam jalur ini yakni kecamatan Sindang Kelingi, Binduriang dan Padang Ulak Tanding. Jalur rawan, yang entah sudah memakan korban nyawa berapa banyak akibat tindak kriminal.
*** Saya ingat, ketika masih sangat hijau, saya pernah ditugaskan di Kabupaten Rejang Lebong. Hanya sebentar sih. Sekitar satu bulan. Ketika saya kembali ke kantor sehabis keluyuran menjelajah daerah baru, salah satu redaktur menjadi pucat ketika saya mengatakan baru pulang cari berita di PUT.
Dia mewanti-wanti saya untuk tidak lagi mengulangi aksi nekat saya bermotor sendirian ke sana(saat itu saya masih belum tahu tentang daerah Texas tsb). Tak hanya redaktur, kakak-kakak rekan sesama jurnalis yang lebih lama bertugas di sana juga mengingatkan hal serupa. Seiring waktu, saya mengerti.
Daerah tersebut memang terlalu berbahaya, apalagi untuk yang bepergian seorang diri.Perempuan lagi.
Kalau pun terpaksa melintas menggunakan sepeda motor, saya disarankan agar tak mengenakan helm. “Itu tanda, biar kamu dianggap ‘orang sini’. Jadi ga akan diapa-apain…”
Seorang teman yang punya keluarga di daerah Texas, pernah bertutur, “Kalau kamu masih SD, ngerengek minta motor, pasti diomeli sama Bapakmu.
Tapi di daerah Texas sini, kalau kamu minta motor, Bapakmu cuma akan menanyakan dua pertanyaan. Satu ‘merk apa?’, yang kedua ‘warna apa?’.
Lalu Bapakmu akan ke kebun sebentar memotong kayu kopi, membawa parang, lalu tinggal menunggu di pinggir jalan. Menunggu motor pesananmu melintas. Kalau pengemudinya beruntung ya cuma luka bacok, kalau sial ya , goodbyee…..”
Terdengar lucu dan tak masuk akal? Mengada-ada? Ya. Mungkin. Tapi coba cek Mbah Google dengan keyword “rampok jalan lintas Curup-Lubuk Linggau”. Coba hitung ada berapa banyak kasus yang terjadi.
Atau tanyakan pada semua sopir travel yang melayani rute Bengkulu-Palembang PP. Tanyakanmengapa mereka selalu berkonvoi jika melintas jalur texas.
Tahun 2012, orangtua saya pindah ke Palembang. Saya masih di Bengkulu. Saat itu, saya cukup sering bolak balik antara kedua kota itu dan selalu menggunakan jasa travel. Suatu kali, saya mengambil tiket perjalanan malam hari. Sampai di daerah Texas sekitar jam 9 malam. Saya duduk di depan, sesekali ngobrol dengan supir. Dia masih muda dan tampak sangat waspada menyetir. “Pelan-pelan nggak papa, asal jangan masuk lubang. Gawat kalau sampai masuk lubang. Banyak ranjau,” kata Supir.
Kening saya berkerut. Ranjau? Melihat raut keheranan di wajah saya, Supir sengaja mengarahkan lampu ke satu lubang di jalan, dan terlihatlah sebuah balok kayu yang penuh tertancap paku dengan sisi tajamnya menghadap ke atas. “Lihat itu.
Kalau sampai ada mobil yang kena ranjau, alamat masuk koran besoknya… (Jadi korban rampok)”. Setelah sering melintas jalur tersebut, tahun lalu saya menyadari… Bahwa di sepanjang jalur Texas yang sekitar 45 km itu, sangat jarang ditemukan adanya rumah ibadah.
Padahal jika di daerah lain, setiap beberapa km selalu ada Masjid. Bukan berarti di jalur Texas itu tidak ada masjid atau rumah ibadah lain… Ada. Tapi saya rasa jumlahnya terlalu sedikit untuk daerah seluas itu.
Terakhir, tahun 2014 lalu kerusuhan hebat terjadi di daerah sana. Mapolsek sampai dibakar…
Lalu bentroknya melibatkan aparat TNI/polri dengan masyarakat setempat. Penyebabnya sepele. Ada warga yang tewas di tangan polisi lantaran terlibat kasus perampokan. Keluarga dan warga lain tak terima hingga balas dendam ke aparat. Mengerikan.
Dan agaknya, bukan saya saja yang gerah dengan kebrutalan daerah ini. Saya menemukan blog lama di internet yang mendokumemtasikan ganasnya daerah Texas Bengkulu ini, yang secara spesifik menyebut satu Desa yakni Kepala Curup (Palak Curup) : kepalacuruppenjahatrampok.blogspot.com
Oh iya, satu lagi. Tahun 2015 lalu juga ditemukan ladang ganja seluas 5,5 ha… Masih di kecamatan yang sama dengan rumah Yuyun : PUT. ***
Telinga saya sudah begitu akrab dengan keganasan daerah ini… Makin tak heran ketika mendengar kasus perkosaan Yuyun.
Seolah-olah malah menjadi pembuktian spekulasi yang selama ini beredar, bahwa daerah Texas memang tempatnya produsen penjahat. Bukan berarti isinya penjahat semua, tapi rasanya orang baik-baik di sana akan terasing. Tertutup peran dan keberadaannya oleh begitu banyaknya tindak amoral yang terjadi… Terlalu banyak… Amat banyak…
Anggota aparat penegak hukum yang punya hak memegang senjata dan bisa membela diri saja banyak yang jadi korban, apalagi “hanya” Yuyun… Gadis cilik malang yang bahkan saya ragu kalau dia sudah mengerti apa yang sesungguhnya terjadi padanya.
Bisa apa dia menghadapi kuasa setan bertopeng manusia? Kasus Yuyun adalah kasus multidimensi. Tak cukup menyebutnya hanya sebagai “kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dan perempuan”. Tidak. Ini perkara yang lebih serius : Krisis moral.
Krisis akhlak para penduduknya. Merampok, menjarah, membegal… Biasa! Mabuk ganja, main judi dan togel juga biasa. Apalagi cuma tuak? Haahhhh…. Ini minuman wajib kalau “ngumpul-ngumpul”. Kadang diminum bersama durian, kadang dicampur pula dengan bodrex.
Beberapa orang mengaitkan itu semua dengan faktor ekonomi dan ketertinggalan daerah. Daerah pedalaman mungkin benar, tapi faktor ekonomi? Duhhh… Ini semata alasan yang dicari-cari menurut saya.
Kabupaten Rejang Lebong adalah wilayah pegunungan nan subur. Bertani, beternak, berkebun harusnya cukup untuk hidup. Pun tertinggal, daerah ini adalah jalur lintas utama penghubung Bengkulu dengan Provinsi lain seperti Sumsel dan Jambi. Tinggal lagi bagaimana pemerintah pusat dan daerah…
Sudahkah memerhatikan daerah ini sebagaimana seharusnya? Publik heran kasus Yuyun. Saya tidak. Namun bukan berarti tak bersimpati padanya (oh, masihkah ada nurani tak menangis mengetahui tragedi ini?)
Tapi… Tapi…
Yuyun hanyalah satu dari entah ribuan nyawa yang pernah melayang di daerah ini. Akankah aparat hanya diam melihat realita di depan mata?
Akankah muncul Yuyun Yuyun yang lain sebagai korban kejahatan yang sama maupun berbeda wujud dan rupanya?
Akankah nurani menjadi beku lantaran sudah terlalu terbiasa?
Haruskah menjadi diam dengan keadilan yang makin kehilangan suaranya?
Tidak. Semoga tidak.
Publik demikian heran, bagaimana mungkin dalam usia sebelia itu bisa merencanakan dan melakukan tindak kriminal yang begitu kejam. Ya. Banyak yang heran. Banyak yang tak habis pikir. Banyak yang bertanya-tanya.
Tapi saya tidak. Sungguh, tak ada rasa heran sama sekali di benak saya ketika pertama kali mengetahui kasus ini. Semua lantaran Tempat Kejadian Perkaranya, yakni di Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT) Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
Bagi masyarakat Bengkulu, atau setidaknya yang pernah lahir dan besar di Bengkulu seperti saya, pasti pernah mendengar kawasan “Texas” yang membentang sepanjang jalur lintas Kota Curup (Bengkulu) hingga Lubuk Linggau (Sumatera Selatan).
Termasuk dalam jalur ini yakni kecamatan Sindang Kelingi, Binduriang dan Padang Ulak Tanding. Jalur rawan, yang entah sudah memakan korban nyawa berapa banyak akibat tindak kriminal.
*** Saya ingat, ketika masih sangat hijau, saya pernah ditugaskan di Kabupaten Rejang Lebong. Hanya sebentar sih. Sekitar satu bulan. Ketika saya kembali ke kantor sehabis keluyuran menjelajah daerah baru, salah satu redaktur menjadi pucat ketika saya mengatakan baru pulang cari berita di PUT.
Dia mewanti-wanti saya untuk tidak lagi mengulangi aksi nekat saya bermotor sendirian ke sana(saat itu saya masih belum tahu tentang daerah Texas tsb). Tak hanya redaktur, kakak-kakak rekan sesama jurnalis yang lebih lama bertugas di sana juga mengingatkan hal serupa. Seiring waktu, saya mengerti.
Daerah tersebut memang terlalu berbahaya, apalagi untuk yang bepergian seorang diri.Perempuan lagi.
Kalau pun terpaksa melintas menggunakan sepeda motor, saya disarankan agar tak mengenakan helm. “Itu tanda, biar kamu dianggap ‘orang sini’. Jadi ga akan diapa-apain…”
Seorang teman yang punya keluarga di daerah Texas, pernah bertutur, “Kalau kamu masih SD, ngerengek minta motor, pasti diomeli sama Bapakmu.
Tapi di daerah Texas sini, kalau kamu minta motor, Bapakmu cuma akan menanyakan dua pertanyaan. Satu ‘merk apa?’, yang kedua ‘warna apa?’.
Lalu Bapakmu akan ke kebun sebentar memotong kayu kopi, membawa parang, lalu tinggal menunggu di pinggir jalan. Menunggu motor pesananmu melintas. Kalau pengemudinya beruntung ya cuma luka bacok, kalau sial ya , goodbyee…..”
Terdengar lucu dan tak masuk akal? Mengada-ada? Ya. Mungkin. Tapi coba cek Mbah Google dengan keyword “rampok jalan lintas Curup-Lubuk Linggau”. Coba hitung ada berapa banyak kasus yang terjadi.
Atau tanyakan pada semua sopir travel yang melayani rute Bengkulu-Palembang PP. Tanyakanmengapa mereka selalu berkonvoi jika melintas jalur texas.
Tahun 2012, orangtua saya pindah ke Palembang. Saya masih di Bengkulu. Saat itu, saya cukup sering bolak balik antara kedua kota itu dan selalu menggunakan jasa travel. Suatu kali, saya mengambil tiket perjalanan malam hari. Sampai di daerah Texas sekitar jam 9 malam. Saya duduk di depan, sesekali ngobrol dengan supir. Dia masih muda dan tampak sangat waspada menyetir. “Pelan-pelan nggak papa, asal jangan masuk lubang. Gawat kalau sampai masuk lubang. Banyak ranjau,” kata Supir.
Kening saya berkerut. Ranjau? Melihat raut keheranan di wajah saya, Supir sengaja mengarahkan lampu ke satu lubang di jalan, dan terlihatlah sebuah balok kayu yang penuh tertancap paku dengan sisi tajamnya menghadap ke atas. “Lihat itu.
Kalau sampai ada mobil yang kena ranjau, alamat masuk koran besoknya… (Jadi korban rampok)”. Setelah sering melintas jalur tersebut, tahun lalu saya menyadari… Bahwa di sepanjang jalur Texas yang sekitar 45 km itu, sangat jarang ditemukan adanya rumah ibadah.
Padahal jika di daerah lain, setiap beberapa km selalu ada Masjid. Bukan berarti di jalur Texas itu tidak ada masjid atau rumah ibadah lain… Ada. Tapi saya rasa jumlahnya terlalu sedikit untuk daerah seluas itu.
Terakhir, tahun 2014 lalu kerusuhan hebat terjadi di daerah sana. Mapolsek sampai dibakar…
Lalu bentroknya melibatkan aparat TNI/polri dengan masyarakat setempat. Penyebabnya sepele. Ada warga yang tewas di tangan polisi lantaran terlibat kasus perampokan. Keluarga dan warga lain tak terima hingga balas dendam ke aparat. Mengerikan.
Dan agaknya, bukan saya saja yang gerah dengan kebrutalan daerah ini. Saya menemukan blog lama di internet yang mendokumemtasikan ganasnya daerah Texas Bengkulu ini, yang secara spesifik menyebut satu Desa yakni Kepala Curup (Palak Curup) : kepalacuruppenjahatrampok.blogspot.com
Oh iya, satu lagi. Tahun 2015 lalu juga ditemukan ladang ganja seluas 5,5 ha… Masih di kecamatan yang sama dengan rumah Yuyun : PUT. ***
Telinga saya sudah begitu akrab dengan keganasan daerah ini… Makin tak heran ketika mendengar kasus perkosaan Yuyun.
Seolah-olah malah menjadi pembuktian spekulasi yang selama ini beredar, bahwa daerah Texas memang tempatnya produsen penjahat. Bukan berarti isinya penjahat semua, tapi rasanya orang baik-baik di sana akan terasing. Tertutup peran dan keberadaannya oleh begitu banyaknya tindak amoral yang terjadi… Terlalu banyak… Amat banyak…
Anggota aparat penegak hukum yang punya hak memegang senjata dan bisa membela diri saja banyak yang jadi korban, apalagi “hanya” Yuyun… Gadis cilik malang yang bahkan saya ragu kalau dia sudah mengerti apa yang sesungguhnya terjadi padanya.
Bisa apa dia menghadapi kuasa setan bertopeng manusia? Kasus Yuyun adalah kasus multidimensi. Tak cukup menyebutnya hanya sebagai “kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dan perempuan”. Tidak. Ini perkara yang lebih serius : Krisis moral.
Krisis akhlak para penduduknya. Merampok, menjarah, membegal… Biasa! Mabuk ganja, main judi dan togel juga biasa. Apalagi cuma tuak? Haahhhh…. Ini minuman wajib kalau “ngumpul-ngumpul”. Kadang diminum bersama durian, kadang dicampur pula dengan bodrex.
Beberapa orang mengaitkan itu semua dengan faktor ekonomi dan ketertinggalan daerah. Daerah pedalaman mungkin benar, tapi faktor ekonomi? Duhhh… Ini semata alasan yang dicari-cari menurut saya.
Kabupaten Rejang Lebong adalah wilayah pegunungan nan subur. Bertani, beternak, berkebun harusnya cukup untuk hidup. Pun tertinggal, daerah ini adalah jalur lintas utama penghubung Bengkulu dengan Provinsi lain seperti Sumsel dan Jambi. Tinggal lagi bagaimana pemerintah pusat dan daerah…
Sudahkah memerhatikan daerah ini sebagaimana seharusnya? Publik heran kasus Yuyun. Saya tidak. Namun bukan berarti tak bersimpati padanya (oh, masihkah ada nurani tak menangis mengetahui tragedi ini?)
Tapi… Tapi…
Yuyun hanyalah satu dari entah ribuan nyawa yang pernah melayang di daerah ini. Akankah aparat hanya diam melihat realita di depan mata?
Akankah muncul Yuyun Yuyun yang lain sebagai korban kejahatan yang sama maupun berbeda wujud dan rupanya?
Akankah nurani menjadi beku lantaran sudah terlalu terbiasa?
Haruskah menjadi diam dengan keadilan yang makin kehilangan suaranya?
Tidak. Semoga tidak.