Selasa, 12 April 2016

RIBUAN MENANGIS SETELAH MEMBACANYA SEBUAH KISAH NYATA MENGURAS AIR MATA: JANGAN MARAH BERKEPANJANGAN ,,!!!


Suatu salah paham yang menyebabkan kehancuran satu rumah tangga. Ketika nilai akhir satu kehidupan telah terbuka, namun semuanya telah terlambat.
Membawa ibu untuk tinggal berbarengan menggunakan saat tua nya berbarengan kami, jadi sudah mengkhianati ikrar cinta yg kami bikin sampai kini.
Sesudah 2 th. menikah, saya serta suami sepakat menjemput ibu untuk tinggal berbarengan kami.

Mulai sejak kecil, suami saya kehilangan ayahnya, dialah hanya satu harapan ibu, ibu juga yang membesarkannya serta menyekolahkannya sampai tamat kuliah. Saya selalu mengangguk cerminan sinyal sepakat, kami selekasnya mempersiapkan satu kamar untuk ibu yang menghadap taman supaya dia bisa berjemur, mananam bunga dsb. Suamiku berdiri di depan kamar yg begitu kaya dengan cahaya matahari, tak sepatah katapun yg terucap, mendadak dia mengangkat saya serta memutar-mutar saya seperti adegan film India serta berkata :  " Mari kita menjemput ibu di kampung ".

Suamiku berbadan tinggi besar, saya sukai sekali menumpukan kepalaku ke dadanya yang bagian. Ada satu perasaan nyaman serta aman di sana. Saya seperti cerminan satu boneka kecil yang setiap saat dapat diangkat serta dimasukkan dalam kantongnya. Bila berlangsung selisih memahami di antara kami, dia sukai mendadak mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya lantas diputar-putar hingga saya berteriak ketakutan baru di turunkan. Saya sungguh nikmati bebrapa waktu seperti itu.

Rutinitas ibu di kampung tak beralih. Saya sukai sekali hiasi tempat tinggal dengan bunga fresh, hingga pada akhirnya ibu tak tahan lagi serta berkata pada suamiku : " Istri anda hidup foya-foya. Buat apa beli bunga? Kan bunga tak dapat dikonsumsi ".

Saya menerangkannya pada ibu : " Bu, tempat tinggal dengan bunga fresh bikin tempat tinggal merasa tambah nyaman serta situasi hati lebih senang. " Ibu senantiasa mendumel, suamiku berkata sembari tertawa : " Ibu, ini rutinitas orang kota, makin lama ibu bakal punya kebiasaan juga. "

Ibu tak memprotes lagi, namun setiap saat melihatku pulang sembari membawa bunga, dia tak dapat menahan diri untuk ajukan pertanyaan berapakah harga bunga itu. Tiap-tiap mendengar jawabanku, dia senantiasa mencibir sembari menggeleng-gelengkan kepala. Tiap-tiap membawa pulang barang belanjaan, dia senantiasa ajukan pertanyaan berapakah harga nya, ini berapakah, itu berapakah. Tiap-tiap saya menjawab, dia senantiasa berdecak dengan cerminan nada keras. Suamiku memencet hidungku sembari berkata, " Sayangku, kan anda dapat berbohong. Janganlah katakan harga sesungguhnya. " Makin lama, keselarasan tempat tinggal tanggaku mulai terganggu.


Ibu begitu tak dapat terima lihat suamiku bangun pagi mempersiapkan sarapan paginya sendiri, dimata ibu seseorang anak lelaki masuk ke dapur yaitu hal yang begitu memalukan. Di meja makan, muka ibu senantiasa cemberut serta saya berniat seperti tak tahu. Ibu senantiasa bikin bunyi-bunyian dengan alat makan seperti garpu dengan sendok, tersebut langkah dia memprotes.


Saya yaitu instruktur tari, sepanjang hari selalu menari bikin badanku begitu letih. Saya tidak mau menghabiskan waktu istirahatku dengan bangun pagi terlebih waktu musim dingin. Ibu terkadang juga sukai membantuku di dapur, namun semakin dibantu saya jadi semakin ribet. Umpamanya : dia sukai menaruh semuanya kantong-kantong sisa belanjaan, dihimpun dapat di jual tuturnya. Jadilah rumahku seperti cerminan tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana tampak kantong plastik besar tempat semuanya himpunan kantong plastik.

Rutinitas ibu membersihkan piring sisa makan tak memakai sabun cairan pencuci, supaya dia tak tersinggung, saya senantiasa mencucinya sekali lagi ketika dia telah tidur. Satu hari, ibu merasakan saya tengah membersihkan piring malam harinya. Serta dia selekasnya membanting pintu serta menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu dia seperti orang bisu, saya cobalah bermanja-manja dengan dia, namun dia tak peduli. Saya jadi kecewa serta geram. " Apa salahku? " Dia melotot serta berkata : " Mengapa anda tak biarlah saja? Apakah mengonsumsi dengan piring itu dapat bikin mu mati? "

Saya serta ibu tak bertegur sapa untuk saat yang cukup lama, situasi jadi kaku. Suamiku jadi begitu kikuk, tidak paham mesti berpihak pada siapa. Ibu tak akan membiarkan suamiku masuk ke dapur, tiap-tiap pagi dia senantiasa bangun lebih pagi serta mempersiapkan sarapan untuk dia. Satu kebahagiaan terpancar diwajahnya bila lihat suamiku makan dengan lahap, serta dengan cahaya mata yang seolah mencelaku pada saat lihat kepadaku, seolah berkata di mana tanggung jawab mu sebagai isteri?
Untuk melindungi situasi pagi hari supaya tak terganggu, saya senantiasa beli makanan di luar ketika pergi bekerja.

Waktu tidur, suami berkata : " Apakah anda terasa masakan ibu tak enak serta tak bersih hingga anda tak pernah makan di rumah? " sembari memunggungiku dia berkata tanpa ada menghiraukan air mata di ke-2 iris pipiku. Serta dia pada akhirnya berkata : " Anggaplah ini satu permintaanku, konsumsilah berbarengan kami tiap-tiap pagi. " Saya mengiyakan serta kembali pada meja makan yang serba canggung itu.

Pagi itu, nenek memasak bubur, kami tengah makan serta mendadak ada satu perasaan yang begitu mual menimpaku, seolah-olah isi perut ingin keluar semuanya. saya menahannya sembari lari ke kamar mandi. hingga di sana, saya selekasnya keluarkan semuanya isi perut. Sesudah agak reda, saya lihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi serta memandangku dengan cahaya mata yang tajam, di luar sana, terdengar nada tangisan ibu serta berbicara dengan bhs daerahnya. Saya terdiam serta terbengong tanpa ada dapat berbicara. Sungguh bukanlah berniat saya berbuat sekian! Pertama kalinya perkawinan ku, saya berkelahi hebat dengan suamiku. Ibu lihat kami dengan mata memerah serta jalan menjauh. Suamiku selekasnya mengubernya keluar tempat tinggal.

Sepanjang 3 hari suamiku tak pulang ke tempat tinggal serta tak juga meneleponku. Saya begitu kecewa, sejak kehadiran ibu ke tempat tinggal, saya telah banyak mengalah, ingin bagaimana lagi? Tak tahu mengapa saya senantiasa terasa mual serta kehilangan napsu makan ditambah lagi dengan situasi tempat tinggal yang kacau, sungguh begitu menjengkelkan. Pada akhirnya rekan sekerjaku berkata, " Baiknya anda kontrol ke dokter. " Hasil kontrol menyebutkan saya tengah hamil. Saya baru sadar kenapa saya mual-mual pagi itu. Satu berita senang terselip juga dikesedihan. Kenapa suami serta ibu sebagai orang yang memiliki pengalaman tak memikirkan hingga sejauh itu?

Dipintu masuk tempat tinggal sakit saya lihat suamiku. 3 hari tak berjumpa dia beralih mencolok. Muka kusut cerminan kurang tidur, saya menginginkan selekasnya berlalu namun rasa iba membuatku tertegun serta memanggilnya. Dia lihat ke arah ku namun seolah tak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian serta itu melukaiku. Saya berkata pada diriku sendiri, janganlah lagi memandangnya serta selekasnya memanggil taksi. Walau sebenarnya saya menginginkan meberitahunya kalau kami bakal selekasnya mempunyai seseorang anak. Serta mengharapkan saya bakal diangkatnya tinggi-tinggi serta diputar-putar hingga saya minta ampun namun mimpiku tak jadi fakta. di dalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Kenapa kesalahpahaman ini menyebabkan begitu jelek?

Hingga di rumah saya berbaring diranjang pikirkan momen tadi. Pikirkan cahaya matanya yang penuh dengan cerminan kebencian. Tengah malam, saya mendengar nada orang buka laci, saya menyalakan lampu serta lihat dia dengan muka berlinang air mata tengah mengambil duit serta buku tabungannya. Saya menatapnya dengan dingin tanpa ada berbicara. Dia seperti tak melihatku lantas berlalu. Kelihatannya dia telah mengambil keputusan untuk meninggalkan saya. Sungguh lelaki yang begitu picik, dalam waktu begini dia masihlah membedakan pada duit serta cinta. Saya tersenyum sembari menitikkan air mata.

Saya tak masuk kerja esok harinya, saya menginginkan secepat-cepatnya membereskan permasalahan ini, saya bakal mengulas semuanya permasalahan ini serta pergi mencari kekantornya. Dikantornya saya berjumpa dengan sekretarisnya dengan muka bingung. " Ibunya Pak Direktur barusan alami kecelakaan jalan raya serta tengah ada dirumah sakit. " Mulutku terbuka lebar. Saya selekasnya menuju tempat tinggal sakit serta waktu menemukannya, ibu telah wafat. Saya melihat jasad ibu yang terbujur kaku. Sembari menangis saya menjerit dalam hati : " Tuhan, kenapa ini dapat berlangsung? " Hingga usai upacara pemakaman, suamiku tak pernah bertegur sapa dengan ku. Bila memandangku ia senantiasa melihat dengan penuh kebencian.

Momen kecelakaan itu saya juga paham dari orang lain, pagi itu ibu jalan ke arah terminal, rupanya dia ingin kembali pada kampung. Suamiku menguber sembari lari, ibu juga lari semakin cepat serta tak mengerti seuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang. Saya baru tahu kenapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Bila saya tak muntah pagi itu,, bila kami tak berkelahi, bila......... ah, dimatanya akulah penyeab kematian ibu.

Suamiku geser ke kamar ibu, tiap-tiap malam pulang kerja dengan tubuh penuh dengan bau asap rokok serta alkohol. Saya terasa


bersalah serta terasa harga diriku terinjak-injak. Saya menginginkan menerangkan semuanya bukanlah salahku serta memberitahunya kalau kami bakal selekasnya memiliki anak. Namun lihat cahaya matanya, saya akan tidak pernah menerangkan permasalahan ini. Saya ikhlas dipukul atau dimaki-maki olehnya walapun ini bukanlah salahku. Saat berlalu dengan begitu lambat. Kami hidup serumah namun seperti tak mengetahui keduanya. Dia pulang semakin larut malam. Situasi tegang di dalam tempat tinggal.

Satu hari, saya jalan melalui satu cafe. Lewat keremangan lampu serta kisi-kisi jendela, saya lihat suamiku dengan seseorang wanita di dalam. Dia tengah mengungkap rambut sang gadis dengan mesra. Saya tertegun serta tahu apa yang sudah berlangsung. Saya masuk dalam serta berdiri di depan mereka sembari memandang tajam kearahnya. Saya tak menangis juga tak berkata apa-apa lantaran saya juga tidak paham mesti berbuat apa. Sang gadis lihat kearahku serta ke arah suamiku serta selekasnya akan berlalu. Namun dihindari oleh suamiku serta memandang kembali pada arahku dengan cerminan cahaya mata yang tidak kalah tajam dariku. Nada detak jantungku merasa begitu keras. Tiap-tiap detak nada seperti nada menuju kematian.

Pada akhirnya saya mengalah serta berlalu dari hadapan mereka. Bila tak... mungkin saja saya bakal jatuh berbarengan bayiku di hadapan mereka. Malam itu dia tak pulang ke tempat tinggal, seolah menerangkan padaku apa yang sudah berlangsung. Sepeninggal ibu, rajutan cinta kami juga kelihatannya sudah selesai. Dia tak kembali pada ke tempat tinggal, terkadang pada saat pulang ke tempat tinggal, saya merasakan almari seperti sisa dibongkar. Saya tahu dia mengambil beberapa barang keperluannya. Saya tidak mau menelepon meskipun terkadang terbersit satu hasrat untuk menerangkan hal semacam ini. Namun itu tak pernah berlangsung...... semuanya berlalu demikian saja.

Saya mulai hidup seseorang diri. Pergi check kandungan sendiri. Setiap saat lihat sepasang suami isteri tengah check kandungan berbarengan, hati ini terasanya hancur. Rekan-rekan merekomendasikan supaya saya buang saja bayi ini, namun saya seperti orang yang tengah histeris menjaga kepunyaannya. Hitung-hitung sebagai pembuktian pada ibu kalau saya tak bersalah.



Satu hari sepulang kerja, saya lihat dia duduk didepan ruangan tamu. Ruang penuh dengan asap rokok serta ada selembar kertas di atas meja. Tak perlu bertanya saya juga sudah mengetahui surat apakah itu. 2 bln. hidup sendiri saya telah dapat mengontrol emosi. Sembari buka mantel serta topi saya berkata padanya : " Tunggulah sebentar, saya bakal selekasnya menandatanginya ". Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian pula saya. Saya berkata pada sendiri, janganlah menangis. Mata ini merasa sakit sekali namun saya mesti selalu bertahan supaya air mata ini tak keluar.

Usai buka mantel, saya jalan ke arahnya serta nyatanya dia memerhatikan perutku yang agak membuncit. Sembari duduk di kursi, saya di tandatangani surat itu serta menyodorkan padanya. " Anda hamil? " Sejak ibu wafat, tersebut pertamakalinya dia bicara kepadaku. Saya tak dapat membendung air mataku yang mengalir keluar dengan derasnya. Saya menjawab : " Iya, namun tak apa-apa. Anda telah bisa pergi. " Dia tak pergi, dalam cerminan keremangan ruang, kami sama-sama berpandangan. Perlahan dia membungkukan tubuhnya ke tanganku. Air matanya merasa menembus lengan bajuku. Namun dilubuk hatiku, semua telah berlalu. Beberapa hal yang telah berlalu serta tak dapat di ambil kembali. Tak tahu telah berapakah kali saya mendengar dia mengatakan kata " Maafkan saya, maafkan saya ". Saya pernah memikirkan untuk memaafkannya namun tak dapat. Tatapan matanya di cafe itu akan tidak pernah saya lupakan. Cinta di antara kami sudah ada satu luka yang menganga. Semuanya yaitu satu akibat kesengajaan darinya.

Mengharapkan dinding es itu bakal mencair, namun yang sudah berlalu akan tidak pernah kembali. Cuma pada saat pikirkan bayiku, saya dapat bertahan untuk selalu hidup. Terhadapnya, hatiku dingin seperti cerminan es, tak pernah sekalipun menyentuh semuanya makanan pembelian dia, tak terima semuanya hadiah pemberiannya. Tak juga bicara lagi dengannya. Mulai sejak di tandatangani surat itu, semuanya cintaku kepadanya telah berlalu. Harapanku sudah lenyap tidak berbekas.

Terkadang dia coba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, saya selekasnya berlalu ke ruangan tamu. Dia sangat terpaksa kembali pada kamar ibu. Malam hari, terdengar nada orang mengerang dari kamar ibu namun saya tak peduli. Itu yaitu permainannya dari dahulu. Bila saya tak peduli kepadanya, dia bakal berpura-pura sakit hingga saya menghampirinya serta ajukan pertanyaan apa dia sakit. Dia lantas bakal memelukku sembari tertawa terbahak-bahak. Dia lupa....... itu yaitu dahulu, waktu cintaku masihlah membara, saat ini apa lagi yang saya punyai?

Demikian selanjutnya, tiap-tiap malam saya mendengar nada orang mengerang hingga anakku lahir. Nyaris sehari-hari dia senantiasa berikan beberapa barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak serta buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk untuk setumpuk hingga barangnya penuh sesak dengan beberapa barang. Saya tahu dia coba menarik simpatiku namun saya tak bergeming. Sangat terpaksa dia mengurung diri di dalam kamar, malam hari dari kamarnya senantiasa terdengar nada pencetan keyboard computer. Mungkin saja dia lagi tergila-gila chatting serta berpacaran didunia maya, fikirku. Bagiku itu bukanlah lagi satu permasalahan.

Satu malam dimusim semi, perutku mendadak merasa begitu sakit serta saya berteriak dengan nada yang begitu keras. Dia selekasnya lari masuk ke kamar, kelihatannya tak pernah tidur. Waktu berikut yang dinanti-nantikan olehnya. Saya digendongnya serta lari mencari taksi ke tempat tinggal sakit. Selama jalan, dia menggenggam erat tanganku, meniadakan keringat dingin yang mengalir didahi ku. Hingga tempat tinggal sakit, saya selekasnya digendongnya menuju ruangan bersalin. Di punggungnya yang kurus kering, saya terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Selama hidupku, siapa lagi yang mencintaiku sedemikian rupa bila bukanlah dia?

Hingga dipintu ruangan bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang. Waktu saya didorong menuju persalinan, sembari menahan sakit saya masihlah pernah tersenyum padanya. Keluar dari ruangan bersalin, dia melihat saya serta anak ku dengan muka penuh dengan air mata sembari tersenyum bahagia. Saya memegang tangannya, dia membalas memegangku dengan bahagia, tersenyum serta menangis lantas terjerambab ke lantai. Saya berteriak histeris memanggil namanya.

Sesudah sadar, dia tersenyum namun tak dapat buka matanya. Saya pernah memikirkan akan tidak lagi meneteskan sebutir air matapun untuk dia. Tetepi sebenarnya tak sekian, saya tak pernah rasakan sesakit ini. Kata dokter, kanker hatinya telah tiba pada stadium mematikan, dapat bertahan hingga hari ini telah adalah satu keajaiban. Saya bertanya kapankah kanker ini terdeteksi? 5 bln. waktu lalu, kata dokter. Bersiap-siaplah hadapi peluang terburuk. Saya tak akan peduli dengan saran perawat, saya selekasnya pulang kerumah serta ke kamar ibu lantas menyalakan computer


Nyatanya sampai kini nada orang mengerang apa itu ada. Saya masihlah memikirkan dia tengah bersandiwara. Satu surat yang begitu panjang ada didalam computer yang diperuntukkan pada anak kami.
 " Anakku, untuk dirimu saya selalu bertahan, hingga saya dapat melihatmu. Tersebut harapanku. Saya tahu dalam kehidupan ini, kita bakal hadapi semuanya bentuk kebahagiaan serta kekecewaan. Sungguh bahagia bila saya dapat melaluinya berbarengan anda namun bapak tak miliki peluang karenanya. Di dalam computer ini, bapak coba memberi anjuran serta nasehat pada semua peluang hidup yang bakal anda hadapi. Anda bisa memperhitungkan anjuran bapak. " " Anakku, usai menulis surat ini, bapak terasa sudah temanimu hidup sepanjang bertahun-tahun. Bapak sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menanggung derita, dia yaitu orang yang paling menyayangimu serta yaitu orang yang paling bapak cintai. "

Dari mulai peristiwa yang mungkin saja bakal berlangsung mulai sejak TK, SD, SMP, SMA, hingga kuliah, semuanya tercatat dengan komplit didalamnya. Dia juga menulis satu surat untukku. " Kasihku, bisa menikahimu yaitu hal yang paling bahagia yang saya rasakan di dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan saya yg tidak pernah berikan tahumu mengenai penyakitku. Saya tidak ingin kesehatan bayi kita terganggu oleh karena itu. Kasihku, bila engkau menangis pada saat membaca surat ini, bermakna engkau sudah memaafkan saya. Terima kasih atas cintamu padaku sampai kini. Hadiah-hadiah ini saya tak miliki peluang untuk memberinya pada anak kita. Pada bungkusan hadiah tercatat semuanya th. pemberian hadiahnya. "

Kembali pada tempat tinggal sakit, suamiku masihlah terbaring lemah. Saya menggendong anak kami serta membaringkannya di atas dadanya sembari berkata : " Sayang, bukalah matamu sebentar saja serta lihatlah anak kita. Saya ingin dia rasakan kasih sayang serta hangatnya pelukan ayahnya. Dengan sulit payah dia buka matanya serta tersenyum..... anak itu tetaplah dalam dekapan nya, dengan tangannya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg kurus serta lemah. Tidak paham saya telah menjepret sekian kali peristiwa ini dengan kamera di tangan sembari berurai air mata...


sumber:http://www.kabarinformasi.com/2016/04/ribuan-menangis-setelah-membacanya.html

Tidak ada komentar: